and the story goes on..

this is about my life and what i'm thinking about..

Senin, 29 April 2013

komunikasi dalam pengasuhan anak (by: Ibu Elly Risman)


poin penting mengenai komunikasi dalam pengasuhan anak:

  • Kita tidak siap jadi orangtua karena tidak menguasai tahap perkembangan anak dan bagaimana cara otak bekerja. Ketidaksiapan ini berpengaruh pada kepribadian dan masa depan anak.
  • Berkomunikasi dengan anak laki-laki beda dengan anak perempuan. Anak laki-laki tidak bisa diberi nasihat panjang-panjang, maksimal 15 kata dalam 1 kalimat.
  • Verbal abuse biasanya terjadi secara tidak sengaja, tetapi ini dapat merusak jiwa anak dan efeknya jangka panjang.
  • Bicara tidak sengaja pada anak akan melemahkan konsep diri, sulit diajak kerja sama, menjatuhkan harga diri, dll.
  • Kekeliruan dalam Berkomunikasi:
    • Bicara tergesa-gesa
    • Tidak kenal diri sendiri
    • Lupa bahwa setiap individu unik
    • Tidak bisa membedakan kebutuhan & keinginan
    • Tidak membaca bahasa tubuh
    • Tidak mendengar perasaan
    • Kurang mendengar aktif
    • Menggunakan 12 gaya populer
    • Tidak memisahkan masalah siapa
    • Selalu menyampaikan “pesan kamu”
  • Dua belas gaya populer dalam pengasuhan: Memerintah, Menyalahkan, Meremehkan, Membandingkan, Mencap, Mengancam, Menasihati, Membohongi, Menghibur, Mengkritik, Menyindir, Menganalisa.
  • Memberi cap/label pada anak tidak tampak secara fisik tapi akan menempel di jiwanya
  • Jangan menasihati orang di saat perasaannya sedang bermasalah, karena tidak akan masuk. Contohnya: saat anak jatuh dan menangis karena sakit, jangan diberi nasihat tapi beri empati pada rasa sakitnya.
  • Membohongi anak akan membuat jiwanya terguncang. Contoh: anak terluka dan menangis karena sakit lalu kita bilang “sakit sedikit besok juga sembuh”. Saat esok masih sakit maka kita sudah berbohong di mata anak. Lebih baik beri pengertian bahwa selama proses penyembuhan akan terasa sakit dalam beberapa hari.
  • Kiat meningkatkan komunikasi:
  1. Baca bahasa tubuh
  2. Dengarkan perasaan
  3. Mendengar aktif
  4. Hindari 12 gaya populer
  5. Tentukan masalah siapa
  6. Jangan bicara tergesa-gesa
  7. Kenali diri sendiri dan lawan bicara
  8. Ingat setiap individu unik
  9. Pahami bahwa kebutuhan dan keinginan berbeda
  10. Sampaikan “pesan saya”
  • Komunikasi itu 55% bahasa tubuh, 38% nada suara, 7% kata-kata. Bahasa tubuh lebih nyaring bunyinya daripada kata-kata.
  • Saat perasaan anak sedang bermasalah, berikan “got” untuk mengalirkannya. Pancing dengan kata-kata perasaan “capek ya”, “bete donk ya”, dll . Jangan dulu pakai kata logika “kenapa”, “benci sama siapa”, dll, atau minimal pakai kata-kata netral seperti “ooo”, “hmm”, dll.
  • Emosi anak harus dialirkan, jika tidak akan menumpuk, yang sewaktu-waktu bisa meledak dan dialirkan ke tempat yang salah seperti narkoba, pornografi, seks bebas, dll.
  • Jika anak pulang sekolah dengan wajah kusut, maka tipsnya baca bahasa tubuhnya, tebak perasaannya, dan sediakan “got” serta jadilah pendengar yang aktif hingga habis emosinya.
  • Tentukan masalah siapa, orangtua atau anak? Hal ini penting agar kita bisa memilah kapan saatnya anak harus dibantu, kapan harus diberi kepercayaan untuk menyelesaikan sendiri. Contoh: anak pakai baju tidak serasi, masalah ortu atau anak?
  • Menghargai kemampuan anak untuk memilih jauh lebih penting daripada memaksakan pilihan kita pada anak.
  • Saat anak diberi pilihan dan berpikir, otaknya aktif. Namun saat dibentak, informasi hanya akan berhenti di batang otak.
  • Agar anak mandiri dan bertanggung jawab, anak perlu Berpikir, Memilih, dan Mengambil Keputusan.
  • Agar orang tua tidak tergesa-gesa dalam berkomunikasi biasakan membuat rencana. Libatkan anak dalam membuat rencana, contohnya membuat daftar menu untuk minggu depan. Hal ini membantu ibu untuk tidak hectic di pagi hari dan bisa berkomunikasi dengan baik pada semua anggota keluarga.
  • Marah pada anak tentu boleh jika memang diperlukan. Mulailah selalu dengan “pesan saya”, formatnya “saya merasa…. (kata perasaan), kalau kamu… karena….”
  • “Pesan saya” membuat fokus perasaan ada di “saya” bukan men-judge “kamu”. Selain itu anak juga jadi tahu poin apa yang membuat orangtua marah, tidak bias ke sana-kemari dengan masalah lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar