Ko bisa ya hari gini saya masih mendengar ucapan “ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi atau pinter-pinter kalau ujung2nya CUMA ngurus anak doang.”
Saya tidak akan berbicara mengenai “ibu bekerja” atau “ibu rumah tangga” ya, karena saya sangat menghormati setiap pilihan dan paham bahwa setiap pribadi punya alasan & kondisi masing2 yg memengaruhi pilihannya.
Tapi semoga tidak terlupa bahwa mengurus anak itu bukanlah sebuah CUMA. Mengurus di sini dalam arti cakupan luas : memberi makan, memperhatikan kesehatan, mendidik, menyayangi, melindungi, memberi rasa aman, mendampingi pertumbuhan lahir batinnya.
Jangan lupa bahwa anak itu adalah MANUSIA. Setiap manusia itu UNIK, dengan karakternya masing-masing. Cara mendidik dan menanamkan nilai pada mereka pun unik dan Ibu adalah orang yang harus jd yg paling mengerti akan hal itu.
Well, saya memang belum pernah merasakan mengurus anak. Tapi saya adalah seorang anak yang diurus oleh seorang Ibu. Ibu yang bekerja sebagai seorang bidan yang luar biasa sibuk. Kadang dines pagi, siang, malem. Tapi beliau tetap bisa “memenuhi tangki kasih sayang anak-anaknya”. Dan belakangan saya tahu, itu karena mamah saya selalu belajar dan belajar.
Saya juga pengalaman membantu kakak dan mengamati kakak2
mengurus keponakan saya dan pernah mengajar privat di rumah untuk berbagai anak dengan karakter berbeda (ada yang brutal, pemberontak, penurut, rajin). Saya mengamati dan menyimak lalu saya jadi paham dan terbelalak dengan kenyataan bahwa mengurus dan mendidik anak itu membutuhkan kecerdasan, keuletan, dan kesabaran tingkat tinggi.
Seorang ibu harus cerdas, mengerti tantangan jaman kehidupan anaknya kelak, memiliki banyak pengetahuan dan jadi FILTERuntuk informasi yg ditangkap anaknya.
Helloo, jaman sekarang adalah jamannya teknologi. Jamannya informasi sangat mudah didapat. Kabar baiknya adalah informasi mudah didapat, banyak sarana belajar dan mencari ilmu untuk orangtua dan anak.
Tapi kabar buruknya, orang tua harus mati-matian berusaha melindungi anak dari informasi yang negatif dan belum waktunya. Dan kabar buruknya lagi, semua itu bukanlah sebuah CUMA dan hanya bisa diperoleh dengan belajar, tanggap informasi, dan menuntut ilmu.
Ngomong-ngomong tentang menuntut ilmu, ilmu itu ga hanya dari sekolah formal seperti yg dimaksud “tinggi-tinggi” itu ya. Buku, seminar, training, workshop, hasil mengamati pengalaman orang lain, internet, komunitas, semua adalah sarana belajar dan Alhamdulillaah banyak banget sarana belajar saat ini.
Lalu apakah seorang Ibu harus sekolah tinggi-tinggi? Well, kalau bisa, mampu, dan mau, kenapa tidak? Saya percaya tidak ada ilmu yang sia-sia. Walaupun bidang ilmu itu bertolak belakang dengan maternity things sekalipun. Bagaimanapun setiap orang punya misi penciptaan mereka masing-masing yang dimaksudkan oleh Allah. Manusia ga diciptakan hanya untuk menuh-menuhin bumi ini kan..? Pasti ada tujuannya. Dan mungkin tujuan itu bisa dicapai dengan bersekolah dan menuntut ilmu formal sebagai salah satu bentuk ikhtiar untuk jadi expert di bidangnya yang merupakan “berlian diri” atau passion dari insan yang bersangkutan.
Selain itu, saya yang lulusan Biologi tapi bekerja di ranah marketing ini sangat merasakan bahwa walaupun secara materi bertolak belakang, sangat banyak hal yg saya peroleh dari kuliah saya selama S1, terutama dari pola pikir, cara memandang suatu masalah, problem solving, networking, organisasi, kemandirian, dan keuletan. Saat ini saya sadar saya memiliki minat besar di salah satu bidang dan merasa ilmu selama S1 tidak cukup. Saya harus belajar lagi untuk bisa memberikan lebih banyak manfaat.
Tapi apakah berarti kalau kuliah di satu bidang itu lantas kita hanya mendapatkan materi-materi terkait bidang tersebut? Tentu tidak, bukan? Banyak hal yang bisa dipelajari jika kita bisa berpikir lebih terbuka. Dan pikiran yang terbuka bukan proses instan, ia adalah proses bertahap yang mungkin terakumulasi selama proses pendidikan dari kecil hingga besar.
Lantas, apakah mereka yang tak sampai tingkat pendidikan tinggi tak bisa jadi Ibu yang baik? Siapa bilang? Sekali lagi, belajar itu bisa dari mana saja. Bukan masalah tingkat pendidikannya juga, yang terpenting adalah otot belajar seorang wanita yang harus terus dilatih dan terus haus akan ilmu. Ilmu bukan hanya di kuliah. Ilmu tertebar di seluruh penjuru bumi
Jadi, mari bersiap menimba ilmu lebih banyak dari mana saja untuk berkeluarga dan pengasuhan anak ini . Merasa masih terlalu dini? Santai aja, ga akan rugi..malah bisa makin banyak kan ketika kelak siap diaplikasikan?
Kembali ke mengurus anak, “mengurus anak itu bukan ‘cuma’. Banyak yang harus orang tua (terutama Ibu) pahami, mulai dari agama, kesehatan, kebutuhan spiritual, pendidikan, gizi, teknologi, komunikasi, psikologi, finansial. Wanita juga harus paham dan belajar untuk itu semua. Karena anak itu tanggung jawab orang tua penerus generasi, pembela agama kelak, dan investasi akhirat.
Saya pernah tersentil banget dengan ucapan Pak @noveldy. Beliau berkata, “hampir semua orang bilang mereka berkarir untuk keluarga. Tapi, kalau dilihat, banyaknya ilmu dan lamanya waktu menempuh ilmu tentang agama, keluarga, pernikahan, atau pengasuhan anak jauh di bawah waktu yang digunakan menempuh pendidikan formal untuk berkarir (bisa mencapai 20 tahun). Lantas untuk berkeluarga dan mendidik anak yang pertanggungjawabannya kelak lebih berat, sudah sejauh apa menyiapkannya?yakin, sudah punya ilmunya?”
Apapun bidang yang ditekuni dalam jenjang pendidikan seorang wanita; belajar, sekolah, dan mencerdaskan diri bagi wanita ituperlu kalau dia ingin mencerdaskan anaknya apalagi menyiapkan anaknya menghadapi zaman yg semakin penuh fitnah dan godaan. Dimana semua terlihat abu-abu, kadang banyak yang merasa bingung mana yang salah dan mana yang benar.
Jadi, stop menganggap rendah kegiatan “mengurus anak” ya. Apalagi menganggap wanita tidak perlu sampai pintar kalau hanya ingin mengurus anak atau tidak berkarir.
Wanita tiang keluarga.
Wanita tiang negara.
Baiknya kualitas wanita, insya Allah baik pula kualitas bangsanya.
Wanita adalah madrasah pertama anak-anak.
Apapun sarananya : sekolah formal atau sarana menuntut ilmu lainnya, wanita harus senantiasa memperkaya diri dengan ilmu. Demi mencetak generasi yang kelak menjadi sebaik-baiknya manusia, yaitu manusia yang paling bermanfaat. Bagi Tuhan, agama, orangtua, bangsa, dan lingkungan di sekitarnya.
Wallaahu a’lam bishshawaab.
Semoga bermanfaat bagi kita semua, terutama para calon Ibu, pendidik para insan yang kelak memberatkan bobot bumi dengan ketaatan pada Sang Pencipta serta manfaat yang dia miliki.